Sabtu, 19 Maret 2011

Catatan untuk Pahlawanku

Malam ini berbeda dengan malam – malam sebelumnya. Kedua kelopak mata ini tak jua menutup seperti malam – malam sebelumnya. Malam pun semakin merambat, namun… Astagfirullah… mata ini tetap saja mengajak bermain menerawang  jauh. Hati ini tak berkompromi sedikitpun.
Akhirnya aku putuskan untuk bangkit dari ranjang tempat tidurku. Kemudian Aku menyambar sebuah pena dan menarik sebuah kertas. Dengan otomatis pena ini bekerjasama dengan jemari lentikku dan menggores kata demi kata menyirat sebuah kata hati. Mulai tanganku menari, kutulis dan kurangkai kalimat – kalimat yang ada dalam otak ini.
Yogyakarta, 30 November 2009 Untukmu pahlahwan sejatiku,
Baru sampai kata Yogyakarta, 30 November 2009 Untukmu pahlahwan sejatiku, pena ini terhenti dan tangan ini bergetar hebat. Kemudian, aku mulai meneruskan kalimat – kalimat selanjutnya.
Ketika hujan turun………ketika kalimat kedua aku tuliskan tangan ini tak hanya bergetar, namun hati ini mulai berdebar kencang.
Kulanjutkan kembali perasaan ku walau dengan terbata-bata kumenuliskannya.
Tetesan tetesan air hujan itu mengingatkan aku pada seseorang yang kan selalu menjadi bara semangat di dalam hati ini….
Lagi-lagi saraf ini mengajak otakku untuk berhenti sejenak.
Tak tahan mata ini mengalirkan butiran – butiran mutiara hingga melewati pipi merona ini.
            Sungguh malam ini akan menjadi saksi buta dalam perjalananku mengarungi luasnya samudra hidup ini diiringi dengan jutaan leukosit yang kian hari kian memenuhi volume tubuhku ini.
Terus kutulis lanjutan – lanjutan kalimat itu, terus kuungkap semua isi hatiku pada sebuah kertas itu. Dan kini jarum jam menunjuk pada angka dua. Aku meras telah cukup menuangkan isi hatiku dalam lembaran kertas itu. Giliranku untuk membaca apa yang telah aku tulis pada lembaran kertas tadi. Kurang lebih beginilah isinya.....





Yogyakarta, 30 November 2009
Untukmu pahlahwan sejatiku,

IBU, ijinkan kugores kertas  ini dengan tema pahlawan jiwaku. Kali ini kucoba mainkan jari-jariku diatas kertas  dan kutulis semua tentang ibu. Kusisipkan sedikit intro yang ada dan akan kuajak ibu dalam lorong waktuku dengan berjuta memori tentang kita dan perjuangan mulia ibu.
Ketika itu hujan turun dengan di iringi suara petir yang tak cukup sekali, aku berada di kursi dekat jendela menerawang menikmati suasana saat itu. Tetesan tetesan air hujan itu mengingatkan aku pada seseorang yang kan selalu menjadi bara semangat di dalam hati ini. Seseorang itu  …pahlahwan ku,
Gludhud…gludhug derrr !! suara petir itu membuat otak ku menuju lorong waktu yang tak pernah aku lupakan. Enam belas tahun silam tepat di bulan Agustus, seseorang wanita berparas cantik berhati mulia berada di dalam ruangan yang penuh dengan alat medis dengan di kelilingi para perawat rumah sakit. Bercucur keringat, berusaha sepenuh tenaga hanya untuk sang masa depannya. Kemuliaannya semakin terasa ketika ia pertaruhkan nyawanya sepenuhnya agar sang masa depannya dapat menikmati hari esok yang merona. Di sudut lain terlihat seorang laki – laki menggendong anak perempuan yang berusia empat tahun berdiri di depan ruangan itu. Dari raut laki- laki itu terlihat doa yang tak henti – henti keluar dari bibirnya dan ekspresi wajah yang menggambarkan kegelisahan ada pada laki – laki itu.
Tak beberapa lama suara tangis sang masa depannya mengagetkan semua yang ada di sekeliling ruangan. Terlihat senyuman rasa syukur dari luar ruangan dan tetesan air mata bahagia dari wnita di dalam ruangan itu.
Sungguh betapa besar pengorbanan wanita itu. Seiringnya waktu wanita itu tak berhenti begitu saja. Namun wanita itu mengajari dan membimbing sang masa depannya itu. Dengan lembut dan penuh kasih dibimbingnya sang masa depannya.
 Hingga akhirnya sang masa depannya itu tumbuh menjadi seorang remaja yang mengerti akan besarnya pengorbanan seorang ibu, mulianya seorang ibu, dan arti menghargai hidup di dunia yang indah namun begitu keras ini.
            Gludhud…gludhug derrr !! suara petir itu membuat otak ku sadar dan kembali di kursi dekat jendela seperti awal mulanya. Oh ibu sungguh kau lah wanita itu ? Bagiamana aku menebus semua itu ,ibu ?
 Walau dengan segunung emas pun tak kan bisa menebus semua itu, ingin kubalas jasamu namun tak semudah itu.  Ibu kau kan selalu di dalam hatiku. Sungguh kaulah pahlahwan ku.
IBU, tahu bahwa karena cinta, batu atau bahkan pualam dapat menjelma menjadi mutiara yang begitu indah.
Dan dari cinta pula, tertanam sifat kedua yang menghujam dalam dada. Sabar, sebagai mahkota segala kebaikan.
Karena sabar, keberanian tidak meredup dalam kepengecutan. Karena sabar, kesucian tidak hanyut dalam kerendahan. Dan karena sabar, kelembutan tidak bergeser menjadi kekasaran.
            Ibu, tulisan harus terhenti karena tema pahlawan jiwaku bagaikan taman burung  yang begitu bebas dan menakjubkan. Keterpesonaan terkadang  harus berakhir dalam lisan yang kata-katanya tak tergambarkan dan penuh dengan kekaburan.
Dalam seelembar kertas ini kutuliskan puisi sebagai tanda cintaku pada kau pahlahwanku. Betapa ingin ku buat pahlahwanku tersenyum bangga karenaku. Ingin ku berikan sejuta prestasi sebelum aku diambil oleh-Nya.
Angin Semilir berlahan
Selembut belaian ibu
Bintang mengiringi langkah ku
Seindah petuah manis bunda
Membawa ku berkelana di negri khayal
Negri yang penuh imajinasi
Sesak oleh angan dan impian
Tergores wajah teduh ibu
Membakar jiwa ini
Tuk terus mengukir prestasi
Menggapai angan dan impian itu
Walau ku terjatuh dan terkapar
Ku kan bangkit dan berlari lagi
Sebelum fajar datang
Sebelum mata ini tertutup untuk selamanya.
Sekali lagi akan ku triakkan pada dunia
Ku hanya ingin buat kau tersenyum padaku.


Aku masa depanmu
Qurrota A’yun

            Tak terasa mutiara – mutiara kecil ini semakin deras mengalir di pipiku, menetes pada kertas itu dan membashinya.
Aluna nasyid dari seismic yang lirik lagunya terdengar lirih dari mp3 ku
ibu lepaskanlah ku kelaut biru, akan kuarungi, akan kusebrangi,
ibu do’akanlah kusedang melangkah menjalani hari menjemput harapku
ibu lepaskanlah dan kau genggamkanlah aku, tentramkan hatiku menuntun hidupku,
doamu oh ibu selalu kunanti, tulus dan suci dari relung hati.…(kurang lebih begitulah liriknya)
Bara api di hatiku kini mulai mengobar kembali. Aku merasa semangat hidupku yang hilang dimakan si leukemia ini terasa kembali pada jiwa ini.  
Andai mata ini diberi kesempatan memandang mentari esok, tak kan ku siakan kesempatan itu. Kan ku gunakan untuk bersimpuh pada ibu dan meminta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat selama ini. Dan akan aku katakan bahwa aku mencintai ibu karena Allah dan semoga karenaNya ibu diberikan kenikmatan di dunia dan di akherat.
Namun, jika mata ini tak lagi dapat memandang mentari esok, tak akan aku siakan malam ini untuk bersimpuh pada-Mu, mendoakan ibu agar kelak kita dipertemukan-Nya di surga nan indah. Dan coretan kertas ini akan menjadi kisah betapa aku mencintai ibu dan menjadi saksi buta perjalanan kemuliaan seorang ibu dan pengorbanan seorang ibu bagi sang buah hatinya.
Sedikit demi sedikit aku mulai dapat memejamkan mata dan berdoa agar aku dapat membuka mata ini untuk esok yang cerah, menemui sang pahlahwan ku atas karunia dan  kesempatan yang dilimpahkan dari- Nya. Amiinn….

- Otta Qurrota A’yun -


            .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar