Senin, 06 Mei 2013

Pahlawan Kecil dari Sekolah Luar Biasa


            Sore ini awan sedang tidak mengutus prajuritnya untuk membasahi seluruh ruas desa. Sedikit dingin namun aku yakin akan segera menjadi hangat setelah bintang menampakkan diri di atas latar biru yang teramat luas. Suasana cerah yang mampu melengkapi kebahagiaanku sore ini,  selain aku bisa mengajak seorang yang istimewa menikmati riuhnya pesta rakyat di lapangan sudut desa. Avicena. Salah seorang murid istemewaku.
            Aku dan Avicena bergurau kecil sembari terus menyusuri ruas jalan pedesaan. Sulit rasanya harus berjalan berdampingan dengan seorang anak yang tak dapat diam dan sulit untuk berkonsentrasi. Akan tetapi dengan clotehan-clotehan dan kesabaranku, aku mampu sedikit mengendalikan Avicena. Keyakinanku tuk menjadikannya sosok yang besar pun tak pernah padam. Entah, aku tak tau mengapa keyakinan itu ada. Mungkin karena ini salah satu naluriku sebagai seorang guru yang menginginkan anak didiknya menjadi sosok yang besar.
            Suara musik khas pasar rakyat pun sudah terdengar jelas pada telinga kami. Terus berjalan menuju gerbang besar berias lampu warna-warni. Sampai. Avicena begitu terpana dengan pasar rakyat. Mulai dari permainan – permainan yang ada, stand – stand yang menjual berbagai kebutuhan, sampai dengan berbagai makanan khas yang disajikan di pasar rakyat. Matanya membelalak kesemua arah. Rasa ingin tahunya semakin memuncak. Genggaman tangannya yang begitu erat akhirnya terlepas karena rasa keingintahuannya. Akupun tersadar ketika akan memberi tahu Avicena tentang komedi putar. Hilang.
            “Astagfirullah... kemana Avicena ?,” tanyaku dengan nada lemas.
            Avicena memang seperti ini. Berlari-lari dan kemudian menghilang. Tapi kali ini berbeda hilangnya. Aku takut. Perasaan dan fikiranku pun akhirnya terbalut oleh polutan-polutan su’uzon yang berlebihan.
            “Dimana dia pergi ?”
            “ketempat komedi putar atau ketempat penjual mainan atau jangan - jangan dia diculik ?”
            “Astagfirulloh.... Avicena...”
            “Avicena....Avicena....” triakku sembari menajamkan pandangan.
            “Sudahlah anak aneh seperti dia tak usah dicari. Kamu kan jadi tak repot lagi mengurus anak nakal itu,” cletuk salah seorang penjual martabak manis.
            “Buat apa kamu bersusah payah mencari dia ? mengajari dia pula. Apa kamu tak ingin hidupmu itu lebih bermanfaat bu guru ? percuma saja kamu melakukan semua ini, dia tak akan faham. Dia kan anak bodoh.” Kata penjual kembang gula yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan kontrakanku.
            “Suatu saat kalian akan bertrimakasih kepada Avicena.” Jawabku tegas.
            Terus berlari mencari seorang anak usia delapan tahun dengan pakaian biru, celana kotak - kotak dan berkalung botol minuman bergambar kartun. Menuju pusat informasi. Dia tak kan dapat mengerti apa yang disiarkan oleh petugas di pusat informasi itu. Pantang pulang sebelum bertemu Avicena.
            Hampir semua penjuru aku jamah. Tetap saja aku tak menemukan Avicena. Namun aku bukanlah seorang guru yang mudah menyerah. Mencari, mencari, dan mencari. Terus mencari.
            “Avicena....”, triakku kembali.
            Tak ada sahutan. Lihat. Sepertinya aku pernah melihat sosok yang berdiri di depan penjual harum manis itu. Avicena. Syukurlah aku menemukannya.
Cepat – cepat aku menuju grobag penjual harum manis itu. Kupeluk Avicena walaupun dia tak paham. Aku tak akan ambil resiko lagi. Kutarik tangan Avicena dan segera meninggalkan gemerlapnya pesta rakyat.
            “Bu guru, kenapa ibu terlihat lelah ?”
            “Iya, ibu tadi berlari mengelilingi pasar rakyat”
            “Harusnya ibu tadi ikut Avicena saja. Ketempat penjual harum manis di sudut lapangan agar ibu tidak begitu lelah”
            Aku hanya tersenyum menanggapinya. Sampai juga aku didepan rumah Avicena. Akupun kembali berjalan setelah mengantar Avicena pulang.
Tak terasa langkah kakiku mengantarkan hingga pintu kamar kontrakan. Langsung saja aku merebahkan badan di kasur kecil. Ngantuk dan lelah. Namun sulit mata ini dipejamkan. Teringat kata – kata penjual kembang gula di pesta rakyat tadi.
            Memang Avicena terlahir dengan sebuah keistimewaan. Avcena mengalami gangguan yang biasa disebut hiperaktif yang sulit berkonsentrasi. Sangat berbeda dengan anak – anak seusianya yang lain. Sehingga wajar saja Avicena hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat di desa. Tapi aku yakin kelak semua orang akan bertrimakasih kepadanya. Sedikit demi sedikit akhirnya mata ini menutup dan siap membuka tuk menatap esok yang cerah.
            Mentari menyapa pagiku dengan penuh harapan besar. Aku telah sampai di sekolah sepuluh menit sebelum anak-anak istimewaku datang. Mereka masuk kelas setelah bel berbunyi tanpa harus diatur seperti saat pertamakali mereka menjadi siswa baru di sekolah luar biasa ini.
            “Ada yang tau dimana Avicena ?” tanyaku pada anak-anak di kelas.
            “Avicena masih di sungai bu guru” cletuk salah seorang dikelas.
            “Apa yang dia lakukan di sungai sepagi ini ?”
            Segera aku menyusulnya. Diikuti oleh anak-anak akupun menuju sungai yang tak jauh dari belakang sekolah.
Grombolan warga desapun telah berada disana memadati pinggir sungai. Termasuk penjual kembang gula di pesta rakyat.
            “Ada apa ini ?” tanyaku pada sipenjual itu.
            “Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Tapi aku yakin ini bukan mimpi bu guru. Ini lah yang kamu hasilkan.” Jawabnya sambil mengajakku berjabat tangan.
            Kaget. Tak percaya. Ini lah Avicena dengan alat sederhananya yang dia rakit seperti mesin pembuat harum manis. Alat yang mampu mengairi sawah – sawah penduduk desa dan mampu menjadi sumber tenaga air untuk pembangkit listrik.
            Kupeluk Avicena murid istimewaku yang dulu selalu di pandang sebelah mata oleh banyak masyarakat. Kini berubah. Trimakasih Avicena. Tepuk tanganpun diberikan tuk yang pertama kalinya dari masyarakat desa untuk pahlawan kecil dari sekolah luar biasa. Duniapun akan tahu tentang ini, Avicena.

-M.Qurrota A’yun-