Sore ini awan sedang tidak mengutus
prajuritnya untuk membasahi seluruh ruas desa. Sedikit dingin namun aku yakin
akan segera menjadi hangat setelah bintang menampakkan diri di atas latar biru
yang teramat luas. Suasana cerah yang mampu melengkapi kebahagiaanku sore
ini, selain aku bisa mengajak seorang
yang istimewa menikmati riuhnya pesta rakyat di lapangan sudut desa. Avicena. Salah
seorang murid istemewaku.
Aku dan Avicena bergurau kecil
sembari terus menyusuri ruas jalan pedesaan. Sulit rasanya harus berjalan
berdampingan dengan seorang anak yang tak dapat diam dan sulit untuk
berkonsentrasi. Akan tetapi dengan clotehan-clotehan dan kesabaranku, aku mampu
sedikit mengendalikan Avicena. Keyakinanku tuk menjadikannya sosok yang besar
pun tak pernah padam. Entah, aku tak tau mengapa keyakinan itu ada. Mungkin
karena ini salah satu naluriku sebagai seorang guru yang menginginkan anak
didiknya menjadi sosok yang besar.
Suara musik khas pasar rakyat pun
sudah terdengar jelas pada telinga kami. Terus berjalan menuju gerbang besar
berias lampu warna-warni. Sampai. Avicena begitu terpana dengan pasar rakyat.
Mulai dari permainan – permainan yang ada, stand – stand yang menjual berbagai
kebutuhan, sampai dengan berbagai makanan khas yang disajikan di pasar rakyat. Matanya
membelalak kesemua arah. Rasa ingin tahunya semakin memuncak. Genggaman
tangannya yang begitu erat akhirnya terlepas karena rasa keingintahuannya.
Akupun tersadar ketika akan memberi tahu Avicena tentang komedi putar. Hilang.
“Astagfirullah... kemana Avicena ?,”
tanyaku dengan nada lemas.
Avicena memang seperti ini.
Berlari-lari dan kemudian menghilang. Tapi kali ini berbeda hilangnya. Aku takut.
Perasaan dan fikiranku pun akhirnya terbalut oleh polutan-polutan su’uzon yang
berlebihan.
“Dimana dia pergi ?”
“ketempat komedi putar atau ketempat
penjual mainan atau jangan - jangan dia diculik ?”
“Astagfirulloh.... Avicena...”
“Avicena....Avicena....” triakku
sembari menajamkan pandangan.
“Sudahlah anak aneh seperti dia tak
usah dicari. Kamu kan jadi tak repot lagi mengurus anak nakal itu,” cletuk salah
seorang penjual martabak manis.
“Buat apa kamu bersusah payah
mencari dia ? mengajari dia pula. Apa kamu tak ingin hidupmu itu lebih
bermanfaat bu guru ? percuma saja kamu melakukan semua ini, dia tak akan faham.
Dia kan anak bodoh.”
Kata penjual kembang gula yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan
kontrakanku.
“Suatu saat kalian akan
bertrimakasih kepada Avicena.” Jawabku tegas.
Terus berlari mencari seorang anak
usia delapan tahun dengan pakaian biru, celana kotak - kotak dan berkalung
botol minuman bergambar kartun. Menuju pusat informasi. Dia tak kan dapat
mengerti apa yang disiarkan oleh petugas di pusat informasi itu. Pantang pulang
sebelum bertemu Avicena.
Hampir semua penjuru aku jamah.
Tetap saja aku tak menemukan Avicena. Namun aku bukanlah seorang guru yang
mudah menyerah. Mencari, mencari, dan mencari. Terus mencari.
“Avicena....”, triakku kembali.
Tak ada sahutan. Lihat. Sepertinya
aku pernah melihat sosok yang berdiri di depan penjual harum manis itu.
Avicena. Syukurlah aku menemukannya.
Cepat
– cepat aku menuju grobag penjual harum manis itu. Kupeluk Avicena walaupun dia
tak paham. Aku tak akan ambil resiko lagi. Kutarik tangan Avicena dan segera
meninggalkan gemerlapnya pesta rakyat.
“Bu guru, kenapa ibu terlihat lelah
?”
“Iya, ibu tadi berlari mengelilingi
pasar rakyat”
“Harusnya ibu tadi ikut Avicena
saja. Ketempat penjual harum manis di sudut lapangan agar ibu tidak begitu
lelah”
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Sampai juga aku didepan rumah Avicena. Akupun kembali berjalan setelah
mengantar Avicena pulang.
Tak
terasa langkah kakiku mengantarkan hingga pintu kamar kontrakan. Langsung saja
aku merebahkan badan di kasur kecil. Ngantuk dan lelah. Namun sulit mata ini
dipejamkan. Teringat kata – kata penjual kembang gula di pesta rakyat tadi.
Memang Avicena terlahir dengan sebuah keistimewaan. Avcena mengalami
gangguan yang biasa disebut hiperaktif yang sulit
berkonsentrasi. Sangat berbeda dengan anak – anak seusianya yang lain. Sehingga
wajar saja Avicena hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat di desa. Tapi
aku yakin kelak semua orang akan bertrimakasih kepadanya. Sedikit demi sedikit
akhirnya mata ini menutup dan siap membuka tuk menatap esok yang cerah.
Mentari
menyapa pagiku dengan penuh harapan besar. Aku
telah sampai di sekolah sepuluh menit sebelum anak-anak istimewaku datang.
Mereka masuk kelas setelah bel berbunyi tanpa harus diatur seperti saat
pertamakali mereka menjadi siswa baru di sekolah luar biasa ini.
“Ada yang tau dimana Avicena ?”
tanyaku pada anak-anak di kelas.
“Avicena masih di sungai bu guru”
cletuk salah seorang dikelas.
“Apa yang dia lakukan di sungai
sepagi ini ?”
Segera aku menyusulnya. Diikuti oleh
anak-anak akupun menuju sungai yang tak jauh dari belakang sekolah.
Grombolan
warga desapun telah berada disana memadati pinggir sungai. Termasuk penjual
kembang gula di pesta rakyat.
“Ada apa ini ?” tanyaku pada sipenjual
itu.
“Aku tak percaya dengan apa yang aku
lihat. Tapi aku yakin ini bukan mimpi bu guru. Ini lah yang kamu hasilkan.”
Jawabnya sambil mengajakku berjabat tangan.
Kaget. Tak percaya. Ini lah Avicena
dengan alat sederhananya yang dia rakit seperti mesin pembuat harum manis. Alat
yang mampu mengairi sawah – sawah penduduk desa dan mampu menjadi sumber tenaga
air untuk pembangkit listrik.
Kupeluk Avicena murid istimewaku
yang dulu selalu di pandang sebelah mata oleh banyak masyarakat. Kini berubah.
Trimakasih Avicena. Tepuk tanganpun diberikan tuk yang pertama kalinya dari
masyarakat desa untuk pahlawan kecil dari sekolah luar biasa. Duniapun akan
tahu tentang ini, Avicena.
-M.Qurrota A’yun-