Senin, 11 Oktober 2010

Novel tentang Hari-hari Bergolak 1965

Campur tangan Amerika dalam peristiwa PRRI, gagalnya PBB dalam menetapkan resolusi atas Irian Barat, dan ditetapkannya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, semakin memperuncing kebencian Soekarno kepada Barat, kepada negara-negara yang disebutnya sendiri sebagai negara nekolim�neo-kolonialisme. Lalu kata �ganyang� mulai diteriakkan di jalan-jalan raya, konfrontasi terhadap Malaysia didengungkan, dan puncaknya Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-bangsa.
Seokarno menurut novel ini bukanlah sosok yang mencintai stabilitas, kemapanan politik, atau keamanan yang menjengahkan. Dia menginginkan gejolak terus ada dengan menganggap revolusi belum selesai.Novel sejarah ini menggambarkan Soekarno sebagai seorang yang romantik. Seperti kecendrungan kaum romantik, Soekarno yang memiliki kepribadian ganda: dia keras sekaligus sentimental, dia diktator tetapi juga pecinta sejati�istrinya banyak!
Mengambil latar masa �Vivere Pericoloso�Tahun Menyerempet Bahaya�, masa tahun-tahun bergerjolak dalam sejarah Indonesia, novel ini menggambarkan bangsa ini yang tengah berada pada situasi yang tak tertebak, ke mana arah sejarah membawa? Tak ada yang dapat memastikan, pada masa ini segala sisi kehidupan tengah bergolak, lapangan apa pun berada di bawah bayang-bayang dan komando politik, dan Soekarno adalah tampuknya. Bahkan sekelompok �wartawan nekolim� pun merasa tak yakin dengan dugaan-dugaan sendiri tentang alir dan kepak masa depan Indonesia.
Novel ini mengawali kisahnya dengan memperkenalkan sebuah komunitas orang Eropa di Hotel Indonesia (hotel yang menjadi salah satu ikon mercusuar Sokearno). Komunitas itu mereka namakan Klub Wayang yang anggota-anggotanya terdiri dari para wartawan dari negara yang menjadi tujuan kebencian Soekarno�kebencian rakyat Indonesia. Mereka, para wartawan nekolim itu, menghabiskan jam malam di sebuah bar di hotel Indonesia yang mereka sebut Bar Wayang.
Billy Kwan adalah objek penting dalam komunitas ini. Dia seorang kerdil, kate, berdarah China-Australia, juru kamera sebuah kantor berita Australia. Alur cerita bergerak ketika seorang reporter kemudian dikirim ke Indonesia sebagai rekan kerja Billy Kwan. Guy Hamilton, seorang Inggris-Australia, dikirim untuk meliput gejolak politik Indonesia masa itu. Si cebol Billy Kwan yang tahu banyak tentang Indonesia menjadi penunjuk jalan bagi Hamilton, bagi �orang baru� di tengah keasingan Jakarta yang mengancam.
Billy dan Hamilton menjadi rekan kerja yang akrab dan unggul di antara wartawan Eropa lainnya. Atas bantuan Billy, Hamilton dapat mewawancarai D. N Aidit�hal yang mustahil bagi seorang reporter nekolim pada masa itu. Laporan Hamilton atas wawancara dengan Aidit tentang perlunya dibentuk Angkatan Kelima itu membuatnya terkenal sebagai reporter, kariernya melejit. Dan di kalangan wartawan Eropa di Indonesia (wartawan-wartawan nekolim), dia dihormati.
Billy dan Hamilton kemudian sama-sama terlibat dalam petualangan jurnalistik yang menegangkan di tengah gejolak politik Jakarta yang semakin tak menentu. Mereka meliput demonstrasi �Ganyang Malaysia� yang brutal yang hampir membuat Hamilton terbunuh; mereka berhasil mewawancarai pejabat-pejabat teras PKI; mereka meliput pawai-pawai dan rapat-rapat raksasa yang diprakarsai komunis; dan mereka berusaha menyelidiki rencana pengiriman senjata dari Peking untuk Jakarta demi mempersenjatai massa komunis.
Namun belakangan, seorang agen Inggris bernama Jill Bryant muncul. Billy Kwan, Guy Hamilton, dan perempuan itu menjalin cinta segitiga yang menyisihkan Billy dalam persaingan cinta. Billy menganggap rasnya mengharuskan dia tersisih; tubuhnya pendek, dia seorang kate, yang wajar menjadi olok-olok. Perlahan-lahan hubungan persahabatan mereka bertiga berubah dan cenderung dibangun atas dasar kecurigaan.
DILARANG TERBIT OLEH REZIM ORDE BARU
Buku ini banyak berisi �olok-olok� tentang Indonesia. Billy Kwan misalnya menganggap monumen nasional yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia itu merupakan kelamin Soekarno yang kepalanya dilapisi emas. Soekarno yang gila perempuan, tutur Kwan, menganggap �kesuburan� adalah segala-galanya. Novel ini juga menampilkan Jakarta dalam sosok yang mengerikan, �penuh keputusasaan yang besar, tetapi juga memiliki keriangan yang aneh,� yang tak akan sepenuhnya dimengerti oleh orang Eropa. Kritik novel ini memang habis-habisan terhadap kondisi sosial Jakarta.
Membaca buku ini akan membuat kita berpikir kembali untuk memindahkan ibukota negara ke tempat yang lebih sejuk dan nyaman�wacana yang setelah dipepat hampir tiga dasawarsa oleh rezim itu kembali mencuat dan mengudara di ruang diskursus kita belakangan ini.
Sebagai penutup, buku ini bertebar ironi, tentang Jakarta, tentang Jawa, tentang Indonesia yang santun dan ramah, namun bisa menjadi begitu barbar. Indonesia dengan pemandangan alam yang eksotis namun memiliki sejarah panjang kekerasan penjagalan dan pembantaian manusia. Buku ini seakan menggugat kita dengan pertanyaan: Kenapa alam Indonesia yang indah dan manusianya yang ramah-tamah serta santun itu bisa dengan gampang berubah menjadi vandalis-vandalis kejam, pembantai, dan penjagal tak berprikemanusiaan?

Judul : THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY
Penulis : Christopher J. Koch
Penerjemah : Yuliani Liputo
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
Cetakan : II, Oktober 2009
Tebal : 494 halaman

Selamat membaca!