Selasa, 30 Oktober 2012

surat kucel untuk si kriput cantik


Teruntuk Ibuku yang semakin mengkriput.
Sebelum aku menuangkan segalanya, ijinkan kubuka lembar surat ini dengan salam yang paling indah agar segala niatku mendapatkan Ridho dari Sang Maha Agung.
                                         السلام عليكم ورحمة الله وبركات
Ibu, ijinkan lembaran putih ini aku gores dengan sepenuh hati. Dengan begitu goresan – goresan  ini mampu mewakili semua isi hatiku. Tak kuat rasanya memendam semua ini sendiri saja. Dan besar harapanku melalui lembaran surat ini. Walau sebenarnya sangat sulit untukku menggores kata demi kata pada lembaran ini bila untaian kata yang tertuang ditujukan untuk Ibuku yang semakin mengkriput. Tapi keberanian ini kulakukan karena Ibu walau terkadang harus  tersendat dan mencekik hati saat mengingat semuanya.
Kini Ibu tak lagi cantik, karena kerutan-kerutan yang menggores wajah cantik itu kian hari semakin terlihat jelas. Namun dimataku wanita paling cantik tetaplah Ibu seorang. Sesungging senyuman yang Ibu berikan setiap kali aku berhasil melakukan sesuatu itu yang membuatku mampu melawan keletihan dan kebosananku. Senyuman yang menenangkan jiwa dan yang selalu memberikan semangat dalam diriku, sejak kakak lahir hingga aku memiliki seorang adik tak bisa lepas dari wajah Ibu yang semakin mengkriput itu.  Tapi kerutan-kerutan itu tak penting bagiku. Hanya lah goresan kerutan yang membuat wajah seperti ada lipatan – lipatan kecil saja. Yang sama sekali tidak mengurangi kemuliaan seorang Ibu. Dimataku hanya ada Ibu seorang yang mulia.
Di dalam hati yang nun jauh tempatnya hingga tak terlihat kasat mata ada perasaan yang sulit tuk kuungkapkan secara langsung. Bukan karena aku pengecut. Tapi karena perasaan itu ada untuk Ibu. Taukah kau perasaan apa itu, Ibu ? jika kau jawab itu perasaan sayangku yang paling dalam, itu salah. Bukan perasaan itu yang tersimpan dalam ruangan nan jauh di hati ini. Walau hanya sekitar satu persen saja  rasa itu tersimpan. Tetap saja rasa itu mengganjal sekali. Benci. Yaa... itu yang tersimpan. Sekarang kau tahu mengapa itu tersimpan, Ibu ? Rasa itu muncul setiap kali aku mendengar omelan-omelanmu, Ibu. Benci itu datang dan pergi begitu saja. Entah darimana perasaan itu muncul. Mungkin karena omelan-omelanmu jadi benci itu datang. Bahkan seketika wajahmu terlihat menakutkan saat ngomel, Ibu. Jangan marah Ibu. Aku jujur, mengatakan apa adanya tanpa ada satu kebohongan sedikitpun.
Kau juga harus tau Ibu. Setelah kau ngomel-ngomel membawa si benci itu datang, otakku ini berputar betapa anehnya diriku. Justru aku mengingginkan omelan-omelanmu terulang lagi. Bukan karena aku tidak konsisten. Tapi karena aku sadar bahwa seorang anak yang belajar di sekolah berlabel “madrasah” seperti aku ini tak pantas membenci Ibu. Selain itu juga karena sembilan puluh sembilan persen ada rasa sayangku padamu, Ibu. Rasa sayang itu yang meleburkan rasa benci dalam diriku ini.
Ibu, jika memang Ibu tak suka dan keberatan dengan surat yang aku tulis ini Ibu boleh meremas-remas surat ini kemudian lemparkan kedalam tong sampah. Namun sebaliknya jika Ibu senang dengan datangnya surat ini maka simpanlah surat ini dan peluklah aku saat aku kembali kerumah Ibu. Maafkan aku Ibu, beginilah caraku mengungkapkan betapa besarnya rasa cintaku padamu. Tak lupa aku mengucapkan trimakasih pada Ibu dan ku sudahi surat ini dengan salam penutup yang paling indah seperti salam pembuka surat ini. Trimakasih Ibu.
    والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Putrimu yang selalu menyayangimu

Minggu, 28 Oktober 2012

La Tahzan


La Tahzan
Jika kau tak bermobil mewah
La Tahzan
Jika kau beralaskan tikar
La Tahzan
Jika kau hanya berdinding kardus
            Syukuri nikmat dari-Nya
            Di balik kesederhanaanmu
            Tersimpan kekayaan hatimu
            Sesungging senyummu adalah sedekah
            Lisan baikmu, juga sedekah
            Kebaikan yang kau perbuat, itu juga sedekah
Bagi kau yang bergelimpang harta
Maka celakalah !
Ketika hartamu membelenggu jiwamu
Ketika tanganmu terbelenggu pada lehermu
Ketika syetan memboikot nuranimu
            Tak lagi kau mengenal-Nya
            Kau menjadi budak nafsu keserakahanmu
            Demi dzat yang maha kaya
            Lagi maha pemurah
            Penerima segala taubat insan dunia 
-otta qurrota a’yun-

Jumat, 26 Oktober 2012

nongol di youth speak jakarta post dulu ya...

salah satu goresan otta yang nongol di Youthspeak Jakarta Post pada edisi oktober 2011 volume 6 #10...

Kamis, 25 Oktober 2012

surat ini lolos dan diterbitkan dalam lomba "surat untuk presiden 2011" dengan judul buku "99 Pesan Kerinduan untuk Presiden"



Teruntuk Ayahanda Presiden
Di Istana Khalifah
Senduku di bawah untaian janji
Meski berat
Mesti kulakukan
Kupilih jalan yang ku yakini
Jangan paksakan yang tak kan mungkin
Hidupku mesti lurus dan benar...
Sebuah alunan lagu yang dipopulerkan oleh ayah ini mampu memberi suntikan imun keyakinan dalam setiap aliran darahku, menjadi pembuka surat istimewa khusus untuk Ayahanda Presiden di Istana Khalifah ini.
Teringat dalam kotak kecil ku saat usiaku 10 tahun. Sorak–sorai para pemuda dengan atribut warna–warni mengendarai sepeda motor mengelilingi kecamatan. Mungkin saat itu yang aku tahu hanya sekelompok masa melakukan arak – arakan. Namun saat ini usiaku telah genap 17 tahun, sudah bukan spekulasi “arak-arakan” lagi saat aku menemui sekelompok masa dengan atribut seperti itu. Di Madrasah Aliyah, aku mendapatkan pelajaran kewarganegaraan dan di Madrasah juga ada acara “pesta demokrasi”, pesta dimana pemilihan ketua OSIS dengan cara sama seperti pemilihan presiden.
            Mulai dari penentuan kandidat kemudian pengundian nomor urut kandidat dilanjutkan dengan kampanye dan orasi, debat formatur kandidat sampai masa tenang dan pemilu di laksanakan. Acara ini sangat memberikan gambaran bagaimana bernegara dan menjalankan undang –undang yang ada. Dari sinilah muncul pemikiran kritis dalam kotak kecilku yang tersimpan dibalik lapisan keras ini.
            Ayah, kau begitu tegar menegakkan dogma–dogma keadilan di tanah mewah ini. Namun apa daya semua itu ? ingatkah kau pada kalimat–kalimat yang dulu pernah ayah teriakkan, program–program yang dulu pernah ayah jadikan alas penarik hati masyarakat bahkan ayah tak lupa menuliskan semua itu pada poster–poster hingga kalender kecil, bagaimana nasip semua itu ? apakah untaian kalimat itu menjadi bagian dari masa lalu yang akan segera pudar dengan bergantinya waktu ?
            Kuharap tidak ayah. Tak ingin ku menatap ibu pertiwi ini menangis dan bersedih hati. Sulit untuk merealisasikannya, namun masih ada satu titik bahwa negeri ini harus bangkit dari keterbelengguan dan politik palsu ini.
            Seorang kawan mengatakan padaku seuntai kalimat yang begitu keras namun selembut kapas. “Surga akan menolakmu jika kau apatis pada hidup dan kehidupan di muka bumi ! Mengonversikan kebiasaan kita pada kebenaran Ilahi adalah jalan keluar termudah yang ditawarkan Tuhan”.
Ayah, oleh karena hatimu telah mengeras dengan tawa, emosi, dan ambisi, cobalah menyediakan sedikit waktu untuk berdiam diri, guna mencari seteguk dogma-dogma kebenaran.

Yogyakarta, 6 November 2011
Mauliddina Qurrota A’yun

Ibuku Bagaikan Radio Rusak


Malam ini sengaja aku tak keluar rumah. Enggan rasanya menikmati malam ketika grimis datang. Aluna saxaphone[1] Kenny-G favoritku menjadi soundtrack suasana malam ini. Kuteguk secangkir teh dan kunikmati bakpia[2] yang sejak beberapa menit tadi disuguhkan oleh adikku sebelum dia meninggalkan rumah. Rizqi. Seperti biasa, setiap sabtu malam Rizqi selalu bersepeda mengelilingi kota istimewa ini bersama dengan teman - teman satu komunitasnya.
Sepi dan sendiri. Kuambil handycam yang tergletak di meja kerja ayah. Aku membukanya perlahan.
“Kakak ayo buruan bangun sudah sore. Jadi jalan - jalan ke Kuta[3] gak ,”triak ibu yang sedang membereskan kamar.
“Ayo kita bangunkan si “ratu kapas”[4]..ehehe..”bisik Rizqi di depan handycam.
            Aku tersenyum kecil menikmati keusilan adikku dalam video amatir saat berlibur di pulau dewata itu. Rasa rindu akan kenangan itu, mendorongku untuk menikmati satu per satu video yang ada di handycam.
            “Kakak, jangan jajan sembarangan ya? Ibu sudah membawa kue kesukaan kakak lho...” Tegur ibu saat aku hendak membeli jajanan di daerah Monas.
            “Kakak, jangan lama-lama main airnya. Kasian adik kedinginan.” Triak ibu saat aku hendak  menikmati serunya meluncur bersama Rizqi di waterboom Jakarta.
            “Kakak, jaga adik ya.. yang rukun dan gak boleh boros. Ingat juga pesan ayah, jangan lupa baca quran setiap selesai sholat magrib minimal dua puluh menit.” Bisik ibu sembari memelukku sesaat sebelum terbang meninggalkan indonesia.
Video - video itu mengingatkanku akan sebuah kehangatan sebuah cinta yang tulus ikhlas. Aroma kerinduan semakin tajam dengan suasana yang begitu mendukung. Memang sejak seminggu lalu ayah dan ibu meninggalkan Indonesia untuk beberapa bulan kedepan.
            Aku terus memperhatikan bagian demi bagian dari video - video itu. Aku sangat merindukan clotehan - clotehan manis yang terdengar seperti radio tua yang sedang ada gangguan di bagian speakernya itu.
            Terdengar sangat mengganggu saat clotehan - clotehan itu menggema di telinga. Tapi justru clotehan - clotehan itulah yang selalu membuatku bersemangat meraih sebuah impian besar dalam hidupku. Terkesan aneh tapi begitulah adanya. Aku sangat merindukan clotehan - clotehan ibu yang ku sebut dengan clotehan manis dari radio rusak.

(Ditulis di kamar berukuran kecil ditemani sebungkus kuaci matahari favoritku dan sebotol jus serta beberapa potong roti bakar)
Yogyakarta, 15 Februari 2012


Biodata :
M.Qurrota A’yun adalah mahasiswa baru di Universitas Ahmad Dahlan jurusan Psikologi. Gadis periang ini  lahir pada tanggal 30 Agustus 1993 di Yogyakarta. Saat ini statusnya sedang menumpang di gubug orang tuanya di Mancasan WB2/696 Rt.40 Rw.09 Wirobrajan Yogyakarta. Selain itu gadis ini juga sedang belajar untuk menggores kalimat demi kalimat bersama kawan - kawan di Writing Revolution.



[1] Saxaphone adalah alat musik yang masuk dalam katagori aerophone, single-reed woodwind instrument. Biasa digunakan dalam musik jazz dan memiliki berbagai jenis dengan range yang berbeda.
[2] Bakpia adalah salah satu makanan khas kota Yogyakarta yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus tepung lalu di panggang.
[3] Kuta adalah salah satu pantai yang juga biasa disebut sebagai pantai matahari terbenam. Terletak di kabupaten badung sebelah selatan Denpasar, Bali.
[4] Ratu kapas adalah julukan dari adikku untuk aku karena salah satu kebiasaanku yang sulit dibangunkan saat tidur.