Teruntuk
Ibuku yang semakin mengkriput.
Sebelum
aku menuangkan segalanya, ijinkan kubuka lembar surat ini dengan salam yang
paling indah agar segala niatku mendapatkan Ridho dari Sang Maha Agung.
السلام عليكم ورحمة الله وبركات
Ibu,
ijinkan lembaran putih ini aku gores dengan sepenuh hati. Dengan begitu goresan
– goresan ini mampu mewakili semua isi
hatiku. Tak kuat rasanya memendam semua ini sendiri saja. Dan besar harapanku
melalui lembaran surat ini. Walau sebenarnya sangat sulit untukku menggores
kata demi kata pada lembaran ini bila untaian kata yang tertuang ditujukan untuk
Ibuku yang semakin mengkriput. Tapi keberanian ini kulakukan karena Ibu walau
terkadang harus tersendat dan mencekik
hati saat mengingat semuanya.
Kini
Ibu tak lagi cantik, karena kerutan-kerutan yang menggores wajah cantik itu
kian hari semakin terlihat jelas. Namun dimataku wanita paling cantik tetaplah
Ibu seorang. Sesungging senyuman yang Ibu berikan setiap kali aku berhasil
melakukan sesuatu itu yang membuatku mampu melawan keletihan dan kebosananku.
Senyuman yang menenangkan jiwa dan yang selalu memberikan semangat dalam
diriku, sejak kakak lahir hingga aku memiliki seorang adik tak bisa lepas dari
wajah Ibu yang semakin mengkriput itu. Tapi
kerutan-kerutan itu tak penting bagiku. Hanya lah goresan kerutan yang membuat
wajah seperti ada lipatan – lipatan kecil saja. Yang sama sekali tidak
mengurangi kemuliaan seorang Ibu. Dimataku hanya ada Ibu seorang yang mulia.
Di
dalam hati yang nun jauh tempatnya hingga tak terlihat kasat mata ada perasaan
yang sulit tuk kuungkapkan secara langsung. Bukan karena aku pengecut. Tapi
karena perasaan itu ada untuk Ibu. Taukah kau perasaan apa itu, Ibu ? jika kau
jawab itu perasaan sayangku yang paling dalam, itu salah. Bukan perasaan itu
yang tersimpan dalam ruangan nan jauh di hati ini. Walau hanya sekitar satu
persen saja rasa itu tersimpan. Tetap
saja rasa itu mengganjal sekali. Benci. Yaa... itu yang tersimpan. Sekarang kau
tahu mengapa itu tersimpan, Ibu ? Rasa itu muncul setiap kali aku mendengar omelan-omelanmu, Ibu. Benci itu datang
dan pergi begitu saja. Entah darimana perasaan itu muncul. Mungkin karena omelan-omelanmu jadi benci itu datang.
Bahkan seketika wajahmu terlihat menakutkan saat ngomel, Ibu. Jangan marah Ibu. Aku jujur, mengatakan apa adanya
tanpa ada satu kebohongan sedikitpun.
Kau
juga harus tau Ibu. Setelah kau ngomel-ngomel
membawa si benci itu datang, otakku
ini berputar betapa anehnya diriku. Justru aku mengingginkan omelan-omelanmu terulang
lagi. Bukan karena aku tidak konsisten. Tapi karena aku sadar bahwa seorang
anak yang belajar di sekolah berlabel “madrasah”
seperti aku ini tak pantas membenci Ibu. Selain itu juga karena sembilan puluh
sembilan persen ada rasa sayangku padamu, Ibu. Rasa sayang itu yang meleburkan
rasa benci dalam diriku ini.
Ibu,
jika memang Ibu tak suka dan keberatan dengan surat yang aku tulis ini Ibu
boleh meremas-remas surat ini kemudian lemparkan kedalam tong sampah. Namun
sebaliknya jika Ibu senang dengan datangnya surat ini maka simpanlah surat ini
dan peluklah aku saat aku kembali kerumah Ibu. Maafkan aku Ibu, beginilah
caraku mengungkapkan betapa besarnya rasa cintaku padamu. Tak lupa aku mengucapkan
trimakasih pada Ibu dan ku sudahi surat ini dengan salam penutup yang paling
indah seperti salam pembuka surat ini. Trimakasih Ibu.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Putrimu yang selalu
menyayangimu