Selasa, 31 Mei 2011

Akhir Penantianku

Suara adzan menghentikan tanganku yang begitu asik di depan laptop. Berjalan untuk mengambil air wudhu dan kemudian kutunaikan kewajibanku.
Usai sholat aku kembali menari bersama jari-jariku di depan laptop. Satu notification dalam home facebookku.
            “Assalamualaikum dek, sudah sholat ?”
            “Walaikumsalam mas, adek sudah sholat. Mas sudah belum?”
            “Ha…ha…ha… mana berani mas mengingatkan kalo mas belum sholat”
Mas Farhan. Begitulah panggilan akrabnya, sahabatku juga kekasih pertamaku. Perjalanan cintaku dengan Mas Farhan tidak begitu lama. Hanya tiga bulan saja. Ibu Mas Farhan tak memberi restu pada hubungan kita lantara aku bukan keturunan seorang kiyai. Hal itu membuatku harus melupakan Mas Farhan untuk selamanya.
            Kesendirian kualami tak begitu lama. Akhirnya aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang gagah dan tampan. Kang Fahris panggilku padanya.
            Umi. Yah.. . Umi adalah panggilan akrabku pada ibu asrama. Karena Umilah aku dapat bertemu dan mengenal Kang Fahris cukup jauh.
            Hubunganku dengan Kang Fahris baik – baik saja dan terhitung cukup lama. Sampai peristiwa yang mengecewakan itu terjadi, tepatnya enam bulan sebelum acara lamaran tiba, akupun harus ditinggalkan oleh Kang Fahris. Entah karena apa, tak jelas  dengan mudah Kang Fahris memutuskan hubungan kami hanya dengan satu kalimat yang begitu jelas dan dalam “Maafkan aku dek, hatiku sekarang tidak mempunyai rasa apapun padamu lagi. Mungkin ini memang aneh, tapi sungguh aku berkata dengan hatiku yang sejujurnya. Aku tahu ini pahit bagimu, tapi aku harus mengatakannya semua ini padamu. Aku benar – benar minta maaf dek, tidak bisa meneruskan hubungan kita ini”
            Kali ini hatiku seakan berceceran tak karuan. Terduduk lemas tanpa daya,  merenung dan tetap terdiam dalam kamar.
Fikiranku kini mulai berkelana tak tentu arah. Kembali terbayang hubunganku dengan Mas Farhan, laki – laki yang kukenal begitu lama menambah goresan dalam hati ini. Tak habis fikir olehku kenapa semua ini terjadi silih berganti. Susul menyusul bagaikan ombak yang tidak pernah berhenti. Namun satu hal yang aku sadari sebagai hikmah dibalik semua ini. Bahwa hanya Allah yang dapat membolak-balikkan perasaan hamba-Nya. Yang semula cinta menjadi tak cinta,yang tadinya tak cinta menjadi cinta. Seperti hubunganku dengan Kang Fahris yang jadi begini.
            Pikiranku terus berkelana, rasa marah, pesimis, sedih, dan komplotannya aku rasakan saat ini.
            “Sedang apa nduk? Masih mikirin Kang Fahris ?” Umi membuyarkan lamunanku.
“Sudahlah nduk, semua pasti ada hikmahnya. Allah itu menciptakan hamba-Nya berpasang-pasangan. Percayalah !”, Umi mencoba menghiburku.
“Alhamdulillah, sepertinya Allah masih menyimpan laki – laki yang lebih baik untukmu. Hanya saja kita belum menemukan jalannya. Sabarlah nduk, Allah mencintai orang – orang yang sabar”, Umi menasihatiku.
            Tak adil rasanya jika aku harus marah dengan Umi. Karena Umi lah yang selalu merekomendasikan beberapa calon padaku. Mulai dari dosen muda hingga yang lulusan S3 sekalipun. Walaupun akhirnya tetap saja nihil. Mereka bukanlah jodoh yang ditakdirkan untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama denganku.
Sudah lima kali Umi mengenalkanku dengan laki-laki pilihan Umi, tapi akhirnya tak berujung pada pernikahan. Pernah Umi mengenalkanku pada seorang dosen dan aku pun mencintainya. Tapi lagi-lagi permasalahan ada pada ibu “si dosen” yang tak menyetujui karena aku bukan keturunan tokoh agama ternama.  Kembali aku down dan trauma untuk menjalin hubungan dengan laki-laki karena pengalaman – pengalaman yang berakhir dengan kepahitan.
“Seburuk apakah aku hingga tak lagi ada lelaki yang mau denganku?”.
 “Apa karena aku hanya seorang santri yang miskin, dari keluarga petani karet sehingga aku tak pantas hidup dengan lelaki manapun?”, terlintas pertanyaan-pertanyaan bodoh pada diriku.
Dengan berlinang air mata aku beranjak dari kasur kecilku dan berdiri tegap didepan cermin. Malu rasanya menangis didepan bayanganku sendiri. Dengan seksama ku cermati bayangan diri ini dan … deg … deg…. seolah memberi pompa saat itu. Subhanaallah.
“Woi !! sadar mbak…! Buat apa kamu menangis?”
“Buat laki-laki yang memang belum menjadi jodohmu ?”
“Apa dengan menangis jodohmu akan jatuh dari langit? Terus masalah bisa selesai begitu saja ?”
“Semua tidak benar ! justru  kamu akan terlihat begitu lemah”
“Kamu akan terlihat begitu rapuh, padahal kamu yakin atas jodoh yang diberikan Allah pada setiap  hambanya bukan ?”
Cukup lama aku berbincang didepan cermin bersama bayangan diri sendiri. Mata yang basah karena tangisku begitu berat rasanya hingga mengantarkanku pada indahnya bunga-bunga tidurku.
“assalamualaikum… nduk, ayo ikut Umi ke Kulonprogo?”
Suara Umi yang memberi ketenangan mengagetkanku ketika aku menyantap sepiring bubur ayam.
            “walaikumsalam… ke Kulonprogo umi ? Untuk apa? Ada acara apa to Umi ?”
            “Umi cuma kepingin mengunjungi Simbah, tapi Abi baru ada acara jadi Umi ngajak kamu nduk”.
            “wealah Umi… minta diantar saya to ? heheh…. Siap laksanakan ! Umi, saya ganti dulu ya mi?”
            “ya nduk… jangan lama-lama dandannya, udah cantik kok”. Ledek Umi padaku.
            Usai berberes aku dan umi meluncur ke Kulonprogo. Di Kulonprogo aku dikenalkan dengan cucu simbah yang kebetulan setara studinya denganku. Mas.Halim namanya, kuliah S2 tafsir hadist.
Sejak saat itu, setiap pagi ada sebuah nasehat yang memenuhi inbox hp ku. Yah, sms nasehat-nasehat itu dari seorang yang baru aku kenal. Mas.Halim.
Mas Halim… orangnya sabar, bijak, dan murah senyum.
            Suatu ketika Mas.Halim memberikan nomer hp ku pada temannya yang studi S3 di tafsir qur’an. Aku tak tau apa maksud Mas.Halim mengenalkanku padanya. Entah kebetulan entah disengaja umi mengetahui hal ini.
Aku begitu kaget ketika umi menawariku untuk berhubungan dengan teman mz.halim itu. Aku mencoba menjelaskan pada umi. Aku begitu takut untuk menjalin hubungan dengan lelaki baru kali ini. Trauma karena aku tak mau jatuh pada lubang yang sama.
            “nduk, piye ? kamu manteb ndak sama temannya Mas.Halim itu ?”
            “aduh umi, aku itu ragu jhe. Gimana ya umi ?”
            “lho , wong yang nglakoni kan kamu to? Kok malah tanya umi ?”
            “apa aku itu pantas mendampingi temannya Mas.Halim yang S3 itu umi ?”
            “dicoba dulu nduk, sapa tau ini jodohmu. Yang penting itu kita sama-sama berdoa, memohon pada Allah agar diberi jodoh yang terbaik nduk”.
            Umi yang selalu perhatian padaku kembali memompa hati yang masih dalam keraguan ini. Ternyata Mas.Halim bercerita banyak pada umi tentang temannya itu.
            Sebuah surat pendek masuk di nomor ponselku.
“perkenalkan nama saya albar, saya temannya halim. Kalo boleh dan diizinkan saya akan mempererat tali persaudaraan diantara sesama muslim.”
            Kurang lebih begitulah sms dari mz.albar. sejak itu aku dan mz.albar mulai PDKT alias pendekatan. Tiga minggu, empat minggu, lima minggu, hingga minggu ke delapan aku mencoba mengenali sosok mz.albar lebih dalam.
            Umi mengerti hal ini dan sedikit mengkhawatirkan hubunganku dengan mz.albaryang kian hari kian dekat. Umi kemudian berunding dengan abi dan mengajak aku dan keluargaku bersilaturahim ke rumah orang tua mz.albar.
            Singkat cerita, aku dan keluarga serta umi juga abi mengunjungi rumah mz.albar yang berada di daerah prambanan. Tak menunggu lama, hanya dua puluh lima hari mz.albar dan keluarga membalas kunjungan kami sekaligus melamarku.
            “Ya Allah… inikah anugrahmu? Setelah sekian lama aku berusaha, sekian lama pula aku mengorbankan perasaanku yang akhirnya Kau gantikan kesedihan lalu dengan kebahagiaan ini. Sungguh Engkau maha adil.”
            “Alhamdulillah Yaa Rob… Engkaulah yang maha mengerti dan mengatur segalanya. Semoga kami dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah warohmah…amin”
            Tak dapat kubendung lagi air mata ini ketika ku bermunajah pada Sang Kuasa malam ini. Malam-malam yang hampir mendekati bulan Juni. Bulan Juni yang kan menyatukan dua hati dan dua keluarga.


kawand...... jangan berhenti untuk berusaha yaa.....
yakinlah bahwa Alloh memiliki rencana indah dibalik semua kepedihan hidup ini..
jangan bosan membaca file dari FOLDER GEJE otta :)
FOLDER GEJE otta menerima saran dan kritik dari kawand-kawan semua ...
trimakasihh....

Sabtu, 19 Maret 2011

Melawan Prajurit Dapur

Mentari mulai menampakkan wujudnya pagi itu, seperti biasa segelas susu dan sandwich dilengkapi beberapa buah-buahan di kranjang tertata rapi di meja makan.
Dengan berlari kecil menuruni anak-anak tangga Rizqi anak muda berusia 14 tahun 8 bulan menuju ruang makan yang berada bersamaan dengan ruangan dapur. Menaruh tas di kursi makan, menyambar sepotong sandwich sembari mencari pasangan adidas hijau miliknya yang tergletak di rak hijau di sudut ruang dapur. Sambil tergopoh-gopoh berlari mengambil tas dia letakkan sandwich yang baru dua kali gigit dan meneguk susu yang juga tak dihabiskan menghampiri ayah di dalam Nissan Teranno yang sudah siap di depan rumah.
            Tiba di sekolah Rizqi bergegas menuju kelas yang ada di ujung letaknya. Dari pagi jam tujuh hingga sore hari sekitar pukul lima Rizqi habiskan waktunya di sekolahan bersama teman-teman.
 Setiap hari Rizqi selalu membawa bekal nasi dan lauk yang disiapkan oleh bunda di Tupperware biru miliknya. Lagi-lagi Rizqi membuang sisa bekal itu di tong sampah coklat depan kelasnya. Huft ! kasian bekalnya…
Bunda tidak tahu bahwa ternyata bekal - bekal yang selalu disiapkan bunda setiap paginya hanya dibuang di tong sampah oleh anak semata wayangnya itu.
Yang bunda tahu hanyalah setiap pulang sekolah Tupperware biru itu sudah kosong tak berisi lagi.
            Setelah mandi Rizqi langsung menuju ruang istirahat. Bukan untuk menghabiskan buku-buku cerita yang berjajar rapi di ruangan itu, tapi untuk duduk di sofa memelototi LG plasma dan begitu asyik memainkan jari-jari lentiknya di atas stick PS3 miliknya. Bungkus - bungkus snack yang Rizqi bawa dari toko sebrang jalan dekat perempatan itu berserakan di sekeliling membuat suasana terlihat kotor tak terhiraukan sedikitpun olehnya.
Hemmm… kebiasaan buruk itu sudah berkali-kali di tegur ayah maupun bundanya.
            Jarum jam menunjuk kearah  angka sembilan dan angka lima, Rizqi terlelap di ruangan itu. Mulailah ketegangan terjadi bagai kembali di era orde baru yang penuh denga terror dan kekejaman.
Pikirannya jadi melayang berputar-putar sambil menikmati suasana kelelapan malam itu. Pikiran Rizqi terus melayang seolah seorang pemimpin berdiri di depannya dengan kewibawaan membuat orang segan padanya. Sikap bijaksana dan kepandaiannya membawa pencerahan bagi bawahannya.
Derr… derr.. derrr !! suara baku hantam itu membuat Rizqi tersadar dan kembali ke angannya menuju lorong impian dan terus berkelana. Terus dicarinya dimana sumber suara itu.
Berjalan dan terus berjalan suara itu semakin dekat dan dapat di pastikan sumber suara itu ada di balik tirai.
“ Ayo kita buat perhitungan untuk anak nakal itu !”, teriak sandwich dengan nada marah.
“ Setuju !!, aku tidak trima dengan perbuatan anak itu yang selalu membuang aku di tong smpah seenaknya”, timpal nasi ketika itu.
” Jelas-jelas di sekolah anak itu sudah diberi materi tentang ayat Allah yang tercantum pada Al-quran surah Al-israa’ ayat 27 yang berbunyi ”inna mubadzdziriina kaanuu ihwamasy syayaa thin ”, trocos sandwich
sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya,” pisau mengartikan.
” iya benar. Bahkan disekolah juga diajarkan agar kita tidak menyia-nyiakan makanan yang ada, tanggap sendok lagi.
” tapi lagi-lagi anak nakal itu tidak memperhatikan materi-materi yang diberikan ! ”, sesal garpu dengan nada jengkel.
“ Ok, kalo begitu, kita buat strategi untuk memberi pelajaran buat anak nakal itu !!”, lanjut sendok dengan semangat’45nya.
            Ketika para densus 87 penghuni dapur berdiskusi menyusun strategi penyerangan dan para follower alias para prajurit densus 87 menyiapkan amunisi, tiba – tiba……
            “Gubrrraghh…..”, sontak semua yang ada di balik tirai itu melihat kearah suara pecahan guci yang dibelakangnya ada sosok anak remaja yang tak lain adalah Rizqi.
” siapa kalian ?”, tanya Rizqi dengan gemetar.
” kami adalah densus 87 penghuni dapur ini ! , jawab wajan.
” kenapa kalian membicarakan aku ? aku tidak pernah membuat ulah dengan kalian .” triak Rizqi dengan nada membentak.
” apa ? kau bilang kau tak pernah berulah dengan kami ?, hello.... kemana aja kau selama ini ?? tidur ??,” sindir piring.
” kamu itu telah membuat kami mara besar anak muda ! ” gertak gelas.
” apa maksud kalian ? aku tidak pernah mengenal kalian makhluk aneh !” tandas Rizqi.
” kau telah membuang-buang bekal yang diberikan bunda untukmu setiap pagi, karena itu kamu telah melukai hati kami anak muda ! ” jelas Sendok.
” lantas apa yang akan kalian lakukan ?”, tanya Rizqi.
            Para penghuni dapur stand by di posisi masing – masing sesuai peta penyerangan dan kemudian …..
“ Serbuuuu !!!!!....”, sendok mengomandoni semua yang ada di balik tirai itu.
“ derr…derr…derr…”, telur dan tomat meluncurkan rudalnya dari udara disayap kiri mengarah pada Rizqi.
“ jgllerr… jgllerr…”, susu dan tepung menghantamkan jurus-jurusnya menyerang dari sisi sayap kanan mengarah pada wajah oval Rizqi.
” buummm....bummmmm....”, serangan dari arah barat daya oleh panci dan wajan.
Serasa bom meledak di tubuh Rizqi saat itu. Ia berusaha berlari menghindar namun tetap saja tidak bisa. Prajurit di balik tira yang begitu banyak berjajar menunggu giliran aba-aba dari sang komando untuk memberi pelajara kepada anak yang selalu membuang makanan dan tidak dapat mensyukuri nikmat dariNya.
“Aaaaaaampunn….Aaaaaaampunn…..Takutttt….Takutttt….Aaaaaaampunn”, triak Rizqi berulang-ulang sembari mengibaskan tangan kekanan dan kekiri untuk bertahan dari serangan para densus 87 dan penghuni dapur.
”tolongggggg.......... tolongggggg.....ampuuuuunnnnnn.....”,
Ayah dan Bunda yang mendengar triakan bersumber di ruang istirahat itu bergegas menghampiri Rizqi yang tertidur dan membangunkannya.
            “huhuhu…bunda, Rizqi mimpi buruk”, tangis Rizqi sembari memeluk bundanya.
” kenapa sayang ?, ” tanya bunda sembari mengelus kepala Rizqi.
” Rizqi mimpi buruk bunda... hikhikhikhik.....,” jawab Rizqi yang masih terisak tangis.
Ayah memberikan segelas air putih dan menenangkan putranya.
Kemudian Rizqi menceritakan pengembaraannya bersama makhluk-makhluk aneh penghuni dapur yang dialaminya dalam dunia mimpi itu kepada ayah dan bunda.
“Hemmm … Sandwich, nasi, susu, dan semuanya akan marah jika Rizqi mempelakukan mereka seenaknya. Itu balasan bagi anak yang selalu membuang makanan dan tidak dapat mensyukuri nikmat dari Allah,” ayah menasihati Rizqi.
” kini kamu tahu apa yang akan terjadi jika kamu masih saja membuang-buang makanan kan ?, ” tanya ayah.
  mereka akan membalas kamu dengan kejam sayang.” jawab bunda menyela.
“Maafin Rizqi ayah, bunda… mulai besok Rizqi janji tidak akan membuang-buang makanan lagi, dan akan menghabiskan bekal yang telah disiapkan bunda,” sesal Rizqi.

- Otta Qurrota A’yun -

            

kado yang terlupakan

Disebuah desa tinggallah seorang ibu dengan tiga anak. Anak yang pertama begitu disayang dan selalu diperhatikan. Anak yang kedua memang sedikit berbeda, ia selalu merasakan ketidaknyamanan berada dirumah itu. Anak yang ketiga juga begitu disayang oleh sang ibu.
            Suatu ketika anak pertama sedang duduk di teras bersama anak kedua, kemudian si ibu menghampiri dan percakapan pun dimulai.
Ketika anak pertama bercerita si ibu begitu antusias mendengarkan cerita si anak pertama. Namun ketika giliran anak kedua yang bercerita si ibu tidak menggubris sedikit pun. Berkali-kali si anak kedua ini mencoba memilih waktu yang pas untuk berkeluh-kesah dengan sang ibu namun sang ibu lagi-lagi tidak menggubris.
Akhirnya anak kedua pun enggan untuk bercerita dengan si ibu, karena ia takut jika nanti ceritanya tidak mendapat sambutan baik dari sang ibu.
            Hari berikutnya, sang ibu bertemu dengan teman lamanya. Sang ibu menceritakan kehidupannya sekarang. Ia ceritakan betapa hebat anak pertamanya. Betapa tampannya anak ketiga. Ironinya sang ibu hanya berkata bahwa anak keduanya duduk di sekolah menengah saja, tidak lebih. Seakan dimata sang ibu sosok anak kedua tidak begitu istimewa.
Anak kedua itupun mendengar percakapan yang mengiringi tegukan kopi sang ibu dan teman lamanya.
Begitu sakit hati si anak kedua itu. Memang anak kedua tidak lebih pintar dan tidak lebih hebat dari anak pertama.
            Lain hari, sang ibu sedang pulang dari berkebun, si anak pertama dan kedua juga baru pulang dari sekolah. Rumah terlihat kotor pula.
Sang ibu membentak sang anak kedua. ”saya juga baru pulang ibu !”, bela anak kedua.
Dimata ibu anak kedua begitu malas dan sekali lagi tidak istimewa .
            Lain hari berikutnya, sang anak berangkat kesekolah dengan sepeda motor miliknya. Ia lebih senang berada di sekolah dari pada di rumah.
Semua itu karena ia tak sanggup menerima tekanan demi tekanan dari rumah yang menghambat belajarnya. Ia selalu berusaha agar disetiap pagi hari ia tidak mendapat santapan pahit dari sang ibu sehingga ia tidak terbebani dalam belajarnya.
            Namun ketika perjalanan pulangnya ia mengalami kecelakaan dan ia harus dilarikan di rumah sakit.
Seorang polisi menghampiri rumahnya untuk memberi kabar kepada sang ibu bahwa anak perempuannya kecelakaan.
Sang ibu pun dengan sedikit terpaksa melangkahkan kakinya menuju rumah sakit.
Ditemuinya anak kedua itu, dengan keadaan yang begitu menghawatirkan.
            Dalam keadaan itu sang anak memegang erat tangan si ibu dan berkata “ berikan aku kecupan indah dan senyum yang tulus, ibu. Dan katakan bahwa ibu mencintai aku seperti ibu mencintai kedua saudaraku”.
Ditengah-tengah ibu mengabulkan permintaan sang anak keduanya, mata anak itu tertutup untuk selamanya.
            Setelah pemakaman anak kedua itu si ibu membereskan kamar tidur milik sang anak. Untuk yang kedua kalinya sang ibu masuk kamar sang anak keduanya.
Begitu kagetnya sang ibu melihat keadaan kamar anaknya.
Buku-buku tertata di meja belajarnya, keras-kertas kecil bertuliskan ”aku cinta ibu karena Allah, aku tidak akan peranah membenci ibu! , aku tidak akan pernah membuang ibu dari hatiku!, walau ibu sudah tidak mencintaiku namun aku tidak akan memudarkan rasa cintaku pada ibu samapai kapanpun!!” tertempel didinding kamar.
Tidak hanya itu, sang ibu tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat begitu banyak kado di bawah tempat tidur sang anak keduanya. Dari kado-kado itu semua tertuliskan ”untuk ibu yang kusayang”

            -otta qurrota a’yun-

Catatan untuk Pahlawanku

Malam ini berbeda dengan malam – malam sebelumnya. Kedua kelopak mata ini tak jua menutup seperti malam – malam sebelumnya. Malam pun semakin merambat, namun… Astagfirullah… mata ini tetap saja mengajak bermain menerawang  jauh. Hati ini tak berkompromi sedikitpun.
Akhirnya aku putuskan untuk bangkit dari ranjang tempat tidurku. Kemudian Aku menyambar sebuah pena dan menarik sebuah kertas. Dengan otomatis pena ini bekerjasama dengan jemari lentikku dan menggores kata demi kata menyirat sebuah kata hati. Mulai tanganku menari, kutulis dan kurangkai kalimat – kalimat yang ada dalam otak ini.
Yogyakarta, 30 November 2009 Untukmu pahlahwan sejatiku,
Baru sampai kata Yogyakarta, 30 November 2009 Untukmu pahlahwan sejatiku, pena ini terhenti dan tangan ini bergetar hebat. Kemudian, aku mulai meneruskan kalimat – kalimat selanjutnya.
Ketika hujan turun………ketika kalimat kedua aku tuliskan tangan ini tak hanya bergetar, namun hati ini mulai berdebar kencang.
Kulanjutkan kembali perasaan ku walau dengan terbata-bata kumenuliskannya.
Tetesan tetesan air hujan itu mengingatkan aku pada seseorang yang kan selalu menjadi bara semangat di dalam hati ini….
Lagi-lagi saraf ini mengajak otakku untuk berhenti sejenak.
Tak tahan mata ini mengalirkan butiran – butiran mutiara hingga melewati pipi merona ini.
            Sungguh malam ini akan menjadi saksi buta dalam perjalananku mengarungi luasnya samudra hidup ini diiringi dengan jutaan leukosit yang kian hari kian memenuhi volume tubuhku ini.
Terus kutulis lanjutan – lanjutan kalimat itu, terus kuungkap semua isi hatiku pada sebuah kertas itu. Dan kini jarum jam menunjuk pada angka dua. Aku meras telah cukup menuangkan isi hatiku dalam lembaran kertas itu. Giliranku untuk membaca apa yang telah aku tulis pada lembaran kertas tadi. Kurang lebih beginilah isinya.....





Yogyakarta, 30 November 2009
Untukmu pahlahwan sejatiku,

IBU, ijinkan kugores kertas  ini dengan tema pahlawan jiwaku. Kali ini kucoba mainkan jari-jariku diatas kertas  dan kutulis semua tentang ibu. Kusisipkan sedikit intro yang ada dan akan kuajak ibu dalam lorong waktuku dengan berjuta memori tentang kita dan perjuangan mulia ibu.
Ketika itu hujan turun dengan di iringi suara petir yang tak cukup sekali, aku berada di kursi dekat jendela menerawang menikmati suasana saat itu. Tetesan tetesan air hujan itu mengingatkan aku pada seseorang yang kan selalu menjadi bara semangat di dalam hati ini. Seseorang itu  …pahlahwan ku,
Gludhud…gludhug derrr !! suara petir itu membuat otak ku menuju lorong waktu yang tak pernah aku lupakan. Enam belas tahun silam tepat di bulan Agustus, seseorang wanita berparas cantik berhati mulia berada di dalam ruangan yang penuh dengan alat medis dengan di kelilingi para perawat rumah sakit. Bercucur keringat, berusaha sepenuh tenaga hanya untuk sang masa depannya. Kemuliaannya semakin terasa ketika ia pertaruhkan nyawanya sepenuhnya agar sang masa depannya dapat menikmati hari esok yang merona. Di sudut lain terlihat seorang laki – laki menggendong anak perempuan yang berusia empat tahun berdiri di depan ruangan itu. Dari raut laki- laki itu terlihat doa yang tak henti – henti keluar dari bibirnya dan ekspresi wajah yang menggambarkan kegelisahan ada pada laki – laki itu.
Tak beberapa lama suara tangis sang masa depannya mengagetkan semua yang ada di sekeliling ruangan. Terlihat senyuman rasa syukur dari luar ruangan dan tetesan air mata bahagia dari wnita di dalam ruangan itu.
Sungguh betapa besar pengorbanan wanita itu. Seiringnya waktu wanita itu tak berhenti begitu saja. Namun wanita itu mengajari dan membimbing sang masa depannya itu. Dengan lembut dan penuh kasih dibimbingnya sang masa depannya.
 Hingga akhirnya sang masa depannya itu tumbuh menjadi seorang remaja yang mengerti akan besarnya pengorbanan seorang ibu, mulianya seorang ibu, dan arti menghargai hidup di dunia yang indah namun begitu keras ini.
            Gludhud…gludhug derrr !! suara petir itu membuat otak ku sadar dan kembali di kursi dekat jendela seperti awal mulanya. Oh ibu sungguh kau lah wanita itu ? Bagiamana aku menebus semua itu ,ibu ?
 Walau dengan segunung emas pun tak kan bisa menebus semua itu, ingin kubalas jasamu namun tak semudah itu.  Ibu kau kan selalu di dalam hatiku. Sungguh kaulah pahlahwan ku.
IBU, tahu bahwa karena cinta, batu atau bahkan pualam dapat menjelma menjadi mutiara yang begitu indah.
Dan dari cinta pula, tertanam sifat kedua yang menghujam dalam dada. Sabar, sebagai mahkota segala kebaikan.
Karena sabar, keberanian tidak meredup dalam kepengecutan. Karena sabar, kesucian tidak hanyut dalam kerendahan. Dan karena sabar, kelembutan tidak bergeser menjadi kekasaran.
            Ibu, tulisan harus terhenti karena tema pahlawan jiwaku bagaikan taman burung  yang begitu bebas dan menakjubkan. Keterpesonaan terkadang  harus berakhir dalam lisan yang kata-katanya tak tergambarkan dan penuh dengan kekaburan.
Dalam seelembar kertas ini kutuliskan puisi sebagai tanda cintaku pada kau pahlahwanku. Betapa ingin ku buat pahlahwanku tersenyum bangga karenaku. Ingin ku berikan sejuta prestasi sebelum aku diambil oleh-Nya.
Angin Semilir berlahan
Selembut belaian ibu
Bintang mengiringi langkah ku
Seindah petuah manis bunda
Membawa ku berkelana di negri khayal
Negri yang penuh imajinasi
Sesak oleh angan dan impian
Tergores wajah teduh ibu
Membakar jiwa ini
Tuk terus mengukir prestasi
Menggapai angan dan impian itu
Walau ku terjatuh dan terkapar
Ku kan bangkit dan berlari lagi
Sebelum fajar datang
Sebelum mata ini tertutup untuk selamanya.
Sekali lagi akan ku triakkan pada dunia
Ku hanya ingin buat kau tersenyum padaku.


Aku masa depanmu
Qurrota A’yun

            Tak terasa mutiara – mutiara kecil ini semakin deras mengalir di pipiku, menetes pada kertas itu dan membashinya.
Aluna nasyid dari seismic yang lirik lagunya terdengar lirih dari mp3 ku
ibu lepaskanlah ku kelaut biru, akan kuarungi, akan kusebrangi,
ibu do’akanlah kusedang melangkah menjalani hari menjemput harapku
ibu lepaskanlah dan kau genggamkanlah aku, tentramkan hatiku menuntun hidupku,
doamu oh ibu selalu kunanti, tulus dan suci dari relung hati.…(kurang lebih begitulah liriknya)
Bara api di hatiku kini mulai mengobar kembali. Aku merasa semangat hidupku yang hilang dimakan si leukemia ini terasa kembali pada jiwa ini.  
Andai mata ini diberi kesempatan memandang mentari esok, tak kan ku siakan kesempatan itu. Kan ku gunakan untuk bersimpuh pada ibu dan meminta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat selama ini. Dan akan aku katakan bahwa aku mencintai ibu karena Allah dan semoga karenaNya ibu diberikan kenikmatan di dunia dan di akherat.
Namun, jika mata ini tak lagi dapat memandang mentari esok, tak akan aku siakan malam ini untuk bersimpuh pada-Mu, mendoakan ibu agar kelak kita dipertemukan-Nya di surga nan indah. Dan coretan kertas ini akan menjadi kisah betapa aku mencintai ibu dan menjadi saksi buta perjalanan kemuliaan seorang ibu dan pengorbanan seorang ibu bagi sang buah hatinya.
Sedikit demi sedikit aku mulai dapat memejamkan mata dan berdoa agar aku dapat membuka mata ini untuk esok yang cerah, menemui sang pahlahwan ku atas karunia dan  kesempatan yang dilimpahkan dari- Nya. Amiinn….

- Otta Qurrota A’yun -


            .

Misteri Dibalik Tirai



Mentari mulai menampakkan wujudnya pagi itu, seperti biasa segelas susu dan sandwich dilengkapi beberapa buah-buahan di kranjang tertata rapi di meja makan.
Dengan berlari kecil menuruni anak-anak tangga Rizqi anak muda berusia 14 tahun 8 bulan menuju ruang makan yang berada bersamaan dengan ruangan dapur. Menaruh tas di kursi makan, menyambar sepotong sandwich sembari mencari pasangan adidas hijau miliknya yang tergletak di rak hijau di sudut ruang dapur. Sambil tergopoh-gopoh berlari mengambil tas dia letakkan sandwich yang baru dua kali gigit dan meneguk susu yang juga tak dihabiskan menghampiri ayah di dalam Nissan Teranno yang sudah siap di depan rumah.
            Tiba di sekolah Rizqi bergegas menuju kelas yang ada di ujung letaknya. Dari pagi jam tujuh hingga sore hari sekitar pukul lima Rizqi habiskan waktunya di sekolahan bersama teman-teman.
 Setiap hari Rizqi selalu membawa bekal nasi dan lauk yang disiapkan oleh bunda di Tupperware biru miliknya. Lagi-lagi Rizqi membuang sisa bekal itu di tong sampah coklat depan kelasnya. Huft ! kasian bekalnya…
Bunda tidak tahu bahwa ternyata bekal - bekal yang selalu disiapkan bunda setiap paginya hanya dibuang di tong sampah oleh anak semata wayangnya itu.
Yang bunda tahu hanyalah setiap pulang sekolah Tupperware biru itu sudah kosong tak berisi lagi.
            Setelah mandi Rizqi langsung menuju ruang istirahat. Bukan untuk menghabiskan buku-buku cerita yang berjajar rapi di ruangan itu, tapi untuk duduk di sofa memelototi LG plasma dan begitu asyik memainkan jari-jari lentiknya di atas stick PS3 miliknya. Bungkus - bungkus snack yang Rizqi bawa dari toko sebrang jalan dekat perempatan itu berserakan di sekeliling membuat suasana terlihat kotor tak terhiraukan sedikitpun olehnya.
Hemmm… kebiasaan buruk itu sudah berkali-kali di tegur ayah maupun bundanya.
            Jarum jam menunjuk kearah  angka sembilan dan angka lima, Rizqi terlelap di ruangan itu. Mulailah ketegangan terjadi bagai kembali di era orde baru yang penuh denga terror dan kekejaman.
Pikirannya jadi melayang berputar-putar sambil menikmati suasana kelelapan malam itu. Pikiran Rizqi terus melayang seolah seorang pemimpin berdiri di depannya dengan kewibawaan membuat orang segan padanya. Sikap bijaksana dan kepandaiannya membawa pencerahan bagi bawahannya.
Derr… derr.. derrr !! suara baku hantam itu membuat Rizqi tersadar dan kembali ke angannya menuju lorong impian dan terus berkelana. Terus dicarinya dimana sumber suara itu.
Berjalan dan terus berjalan suara itu semakin dekat dan dapat di pastikan sumber suara itu ada di balik tirai.
“ Ayo kita buat perhitungan untuk anak nakal itu !”, teriak sandwich dengan nada marah.
“ Setuju !!, aku tidak trima dengan perbuatan anak itu yang selalu membuang aku di tong smpah seenaknya”, timpal nasi ketika itu.
” Jelas-jelas di sekolah anak itu sudah diberi materi tentang ayat Allah yang tercantum pada Al-quran surah Al-israa’ ayat 27 yang berbunyi ”inna mubadzdziriina kaanuu ihwamasy syayaa thin ”, trocos sandwich
sesungguhnya pemborosan-pemborosan itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya,” pisau mengartikan.
” iya benar. Bahkan disekolah juga diajarkan agar kita tidak menyia-nyiakan makanan yang ada, tanggap sendok lagi.
” tapi lagi-lagi anak nakal itu tidak memperhatikan materi-materi yang diberikan ! ”, sesal garpu dengan nada jengkel.
“ Ok, kalo begitu, kita buat strategi untuk memberi pelajaran buat anak nakal itu !!”, lanjut sendok dengan semangat’45nya.
            Ketika para densus 87 penghuni dapur berdiskusi menyusun strategi penyerangan dan para follower alias para prajurit densus 87 menyiapkan amunisi, tiba – tiba……
            “Gubrrraghh…..”, sontak semua yang ada di balik tirai itu melihat kearah suara pecahan guci yang dibelakangnya ada sosok anak remaja yang tak lain adalah Rizqi.
” siapa kalian ?”, tanya Rizqi dengan gemetar.
” kami adalah densus 87 penghuni dapur ini ! , jawab wajan.
” kenapa kalian membicarakan aku ? aku tidak pernah membuat ulah dengan kalian .” triak Rizqi dengan nada membentak.
” apa ? kau bilang kau tak pernah berulah dengan kami ?, hello.... kemana aja kau selama ini ?? tidur ??,” sindir piring.
” kamu itu telah membuat kami mara besar anak muda ! ” gertak gelas.
” apa maksud kalian ? aku tidak pernah mengenal kalian makhluk aneh !” tandas Rizqi.
” kau telah membuang-buang bekal yang diberikan bunda untukmu setiap pagi, karena itu kamu telah melukai hati kami anak muda ! ” jelas Sendok.
” lantas apa yang akan kalian lakukan ?”, tanya Rizqi.
            Para penghuni dapur stand by di posisi masing – masing sesuai peta penyerangan dan kemudian …..
“ Serbuuuu !!!!!....”, sendok mengomandoni semua yang ada di balik tirai itu.
“ derr…derr…derr…”, telur dan tomat meluncurkan rudalnya dari udara disayap kiri mengarah pada Rizqi.
“ jgllerr… jgllerr…”, susu dan tepung menghantamkan jurus-jurusnya menyerang dari sisi sayap kanan mengarah pada wajah oval Rizqi.
” buummm....bummmmm....”, serangan dari arah barat daya oleh panci dan wajan.
Serasa bom meledak di tubuh Rizqi saat itu. Ia berusaha berlari menghindar namun tetap saja tidak bisa. Prajurit di balik tira yang begitu banyak berjajar menunggu giliran aba-aba dari sang komando untuk memberi pelajara kepada anak yang selalu membuang makanan dan tidak dapat mensyukuri nikmat dariNya.
“Aaaaaaampunn….Aaaaaaampunn…..Takutttt….Takutttt….Aaaaaaampunn”, triak Rizqi berulang-ulang sembari mengibaskan tangan kekanan dan kekiri untuk bertahan dari serangan para densus 87 dan penghuni dapur.
”tolongggggg.......... tolongggggg.....ampuuuuunnnnnn.....”,
Ayah dan Bunda yang mendengar triakan bersumber di ruang istirahat itu bergegas menghampiri Rizqi yang tertidur dan membangunkannya.
            “huhuhu…bunda, Rizqi mimpi buruk”, tangis Rizqi sembari memeluk bundanya.
” kenapa sayang ?, ” tanya bunda sembari mengelus kepala Rizqi.
” Rizqi mimpi buruk bunda... hikhikhikhik.....,” jawab Rizqi yang masih terisak tangis.
Ayah memberikan segelas air putih dan menenangkan putranya.
Kemudian Rizqi menceritakan pengembaraannya bersama makhluk-makhluk aneh penghuni dapur yang dialaminya dalam dunia mimpi itu kepada ayah dan bunda.
“Hemmm … Sandwich, nasi, susu, dan semuanya akan marah jika Rizqi mempelakukan mereka seenaknya. Itu balasan bagi anak yang selalu membuang makanan dan tidak dapat mensyukuri nikmat dari Allah,” ayah menasihati Rizqi.
” kini kamu tahu apa yang akan terjadi jika kamu masih saja membuang-buang makanan kan ?, ” tanya ayah.
  mereka akan membalas kamu dengan kejam sayang.” jawab bunda menyela.
“Maafin Rizqi ayah, bunda… mulai besok Rizqi janji tidak akan membuang-buang makanan lagi, dan akan menghabiskan bekal yang telah disiapkan bunda,” sesal Rizqi.

- Otta Qurrota A’yun -