Kamis, 25 Oktober 2012

surat ini lolos dan diterbitkan dalam lomba "surat untuk presiden 2011" dengan judul buku "99 Pesan Kerinduan untuk Presiden"



Teruntuk Ayahanda Presiden
Di Istana Khalifah
Senduku di bawah untaian janji
Meski berat
Mesti kulakukan
Kupilih jalan yang ku yakini
Jangan paksakan yang tak kan mungkin
Hidupku mesti lurus dan benar...
Sebuah alunan lagu yang dipopulerkan oleh ayah ini mampu memberi suntikan imun keyakinan dalam setiap aliran darahku, menjadi pembuka surat istimewa khusus untuk Ayahanda Presiden di Istana Khalifah ini.
Teringat dalam kotak kecil ku saat usiaku 10 tahun. Sorak–sorai para pemuda dengan atribut warna–warni mengendarai sepeda motor mengelilingi kecamatan. Mungkin saat itu yang aku tahu hanya sekelompok masa melakukan arak – arakan. Namun saat ini usiaku telah genap 17 tahun, sudah bukan spekulasi “arak-arakan” lagi saat aku menemui sekelompok masa dengan atribut seperti itu. Di Madrasah Aliyah, aku mendapatkan pelajaran kewarganegaraan dan di Madrasah juga ada acara “pesta demokrasi”, pesta dimana pemilihan ketua OSIS dengan cara sama seperti pemilihan presiden.
            Mulai dari penentuan kandidat kemudian pengundian nomor urut kandidat dilanjutkan dengan kampanye dan orasi, debat formatur kandidat sampai masa tenang dan pemilu di laksanakan. Acara ini sangat memberikan gambaran bagaimana bernegara dan menjalankan undang –undang yang ada. Dari sinilah muncul pemikiran kritis dalam kotak kecilku yang tersimpan dibalik lapisan keras ini.
            Ayah, kau begitu tegar menegakkan dogma–dogma keadilan di tanah mewah ini. Namun apa daya semua itu ? ingatkah kau pada kalimat–kalimat yang dulu pernah ayah teriakkan, program–program yang dulu pernah ayah jadikan alas penarik hati masyarakat bahkan ayah tak lupa menuliskan semua itu pada poster–poster hingga kalender kecil, bagaimana nasip semua itu ? apakah untaian kalimat itu menjadi bagian dari masa lalu yang akan segera pudar dengan bergantinya waktu ?
            Kuharap tidak ayah. Tak ingin ku menatap ibu pertiwi ini menangis dan bersedih hati. Sulit untuk merealisasikannya, namun masih ada satu titik bahwa negeri ini harus bangkit dari keterbelengguan dan politik palsu ini.
            Seorang kawan mengatakan padaku seuntai kalimat yang begitu keras namun selembut kapas. “Surga akan menolakmu jika kau apatis pada hidup dan kehidupan di muka bumi ! Mengonversikan kebiasaan kita pada kebenaran Ilahi adalah jalan keluar termudah yang ditawarkan Tuhan”.
Ayah, oleh karena hatimu telah mengeras dengan tawa, emosi, dan ambisi, cobalah menyediakan sedikit waktu untuk berdiam diri, guna mencari seteguk dogma-dogma kebenaran.

Yogyakarta, 6 November 2011
Mauliddina Qurrota A’yun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar