Teruntuk
Ayahanda Presiden
Di
Istana Khalifah
Senduku di
bawah
untaian janji
Meski berat
Mesti kulakukan
Kupilih jalan
yang ku yakini
Jangan paksakan
yang tak kan mungkin
Hidupku mesti
lurus dan benar...
Sebuah
alunan lagu yang dipopulerkan oleh ayah ini mampu memberi suntikan imun keyakinan
dalam setiap aliran darahku, menjadi pembuka surat istimewa khusus untuk Ayahanda
Presiden di Istana Khalifah ini.
Teringat
dalam kotak kecil ku saat usiaku 10
tahun.
Sorak–sorai para pemuda dengan atribut warna–warni mengendarai sepeda motor
mengelilingi kecamatan. Mungkin saat itu yang aku tahu hanya sekelompok masa
melakukan arak – arakan. Namun saat ini usiaku telah genap 17 tahun, sudah bukan
spekulasi “arak-arakan” lagi saat aku menemui sekelompok masa dengan atribut
seperti itu. Di Madrasah Aliyah, aku mendapatkan pelajaran kewarganegaraan dan
di Madrasah juga ada acara “pesta demokrasi”, pesta dimana pemilihan ketua OSIS
dengan cara sama seperti pemilihan presiden.
Mulai dari penentuan kandidat kemudian
pengundian nomor
urut kandidat dilanjutkan dengan kampanye dan orasi, debat formatur kandidat
sampai masa tenang dan pemilu di laksanakan. Acara ini sangat memberikan
gambaran bagaimana bernegara dan menjalankan undang –undang yang ada. Dari
sinilah muncul pemikiran kritis dalam kotak kecilku yang tersimpan dibalik
lapisan keras ini.
Ayah, kau begitu tegar menegakkan
dogma–dogma keadilan di tanah mewah ini. Namun apa daya semua itu ? ingatkah kau
pada kalimat–kalimat yang dulu pernah ayah teriakkan, program–program yang dulu
pernah ayah jadikan alas penarik hati masyarakat bahkan ayah tak lupa menuliskan
semua itu pada poster–poster hingga kalender kecil, bagaimana nasip semua itu ?
apakah untaian kalimat itu menjadi bagian dari masa lalu yang akan segera pudar
dengan bergantinya waktu ?
Kuharap tidak ayah. Tak ingin ku menatap ibu pertiwi
ini menangis dan bersedih hati. Sulit
untuk merealisasikannya, namun masih ada satu
titik bahwa negeri ini harus bangkit dari keterbelengguan dan politik
palsu ini.
Seorang kawan mengatakan padaku seuntai
kalimat yang begitu keras namun selembut kapas. “Surga akan menolakmu jika kau
apatis pada hidup dan kehidupan di muka bumi ! Mengonversikan kebiasaan kita pada
kebenaran Ilahi
adalah jalan keluar termudah yang ditawarkan Tuhan”.
Ayah, oleh karena hatimu telah
mengeras dengan tawa, emosi, dan ambisi, cobalah menyediakan sedikit waktu
untuk berdiam diri, guna mencari seteguk dogma-dogma kebenaran.
Yogyakarta, 6
November 2011
Mauliddina
Qurrota A’yun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar